Part 2 (3): Ghandi penasaran juga
06:40
Di pagi yang cerah ini, Pipo sudah berada di kamar Galih dan Ghandi.
Mencium pipi mereka, mengusap lembut surai mereka, dan membuka tirai yang menutupi cerahnya matahari yang akan menyapa mereka.
“Selamat pagi para kesayangan Pipo!” sapa Pipo seraya menyibak tirai dan membiarkan cahaya menyentak lelapnya mereka.
“Ayo banguuuun~” seru Pipo menghadap dua jagoannya yang hanya terusik sedikit, lalu menutup seluruh tubuhnya dalam selimut dan melanjutkan tidurnya.
“Ada yang ingin sandwich buatan Pipo?” ucap Pipo yang kembali melangkah ke arah mereka.
Namun, hening, hanya ada suara dengkuran halus dari kedua anaknya.
“Galih?” tepuk pelan Pipo pada Galih yang menutup wajahnya dengan selimut.
“Wait for a few minutes, Po..” ucap serak Galih dalam selimutnya.
“Ghandi, ayo banguun~” usap lembut Pipo, mengintip sedikit pada gumpalan selimut yang berisikan Ghandi sedang tengkurap dan setengah menungging.
Pipo terkikik pelan melihat posisi tidur Ghandi yang menurutnya lucu.
“Ckck.. De, ayo bangun!”
“Wa-it, Pi-po..” ucap serak Ghandi seraya mendudukan tubuhnya yang masih tenggelam dalam gumpalan selimut, hanya kepalanya saja yang terlihat menyembul.
Ghandi terduduk dengan matanya yang masih terpejam, bibir mungilnya yang manyun, surai hitamnya yang berantakan. Pipo tersenyum melihatnya.
Mereka tak sadar, sejak tadi Papi mengintip dari pintu kamar, melihat suami dan anak-anaknya yang gemas. Lalu tergerak untuk ikut terlibat dalam suasana hening mereka,
“Ekhem...” sentak Papi seraya melebarkan pintu kamar anaknya.
Di saat itu pula, Ghandi membuka kedua matanya, Galih menyibak selimut yang menutupi wajahnya dan menatap kosong pada langit kamar, serta Pipo yang melirik kearah Papi lalu kembali menatap kedua anaknya yang seketika terbangun.
“Mau Papi saja yang bangunkan?” ucap tegas Papi sembari berkacak pinggang.
“No. Kita sudah bangun!” jawab Galih dengan suara khas bangun tidurnya.
“Yes.. we ale awake, Pa-pi..” sahut Ghandi dengan suara gemasnya.
“Wash your face, then have breakfast, okay?” perintah Papi.
“Yes~” jawab Galih dan Ghandi yang turun dari ranjangnya, kemudian keduanya menunduk melewati Papi nya untuk keluar kamar.
Pipo ikut melangkah di belakang mereka, namun berhenti di depan Papi.
“Sayang, jangan galak-galak gitu ah nanti anak-anak kamu takut!” ucap Pipo yang melingkarkan tangannya pada pinggang Papi seraya memanyunkan bibirnya.
“Itu gak galak, sayang. Cuma tegas..” jelas Papi seraya merengkuh pinggul Pipo.
cup! Satu kecupan mendarat di bibir Pipo,
“Morning kiss! Wleee~” ledek Papi seraya berlari kecil meninggalkan Pipo yang menahan marah.
“Huh, gak suami, gak anak, bikin gemes pengen nyubit semua!” dumel Pipo yang melangkah keluar dari kamar dan menutup pintunya.
“Ghandi, penasaran tidak?” tiba-tiba saja Galih membuka topik pembahasan setelah menghabiskan sarapannya dan meletakkan pisau serta garpu sejajar di atas piring datarnya, ia sudah terbiasa dengan table manners yang Pipo ajarkan ketika selesai makan.
“Apwa?” tanya Ghandi yang mulutnya masih mengunyah makanan.
Papi dan Pipo fokus menyesap kopi seraya mengawasi pembahasan anaknya.
“How to make a baby!”
“Uhukk”
“Eoh? Twell mweh!” jawab Ghandi diikuti reaksi tubuhnya yang sangat antusias dengan mulut penuh makanan.
“Uhukk..” Papi terus tersedak saat menyesap kopinya di waktu Galih dan Ghandi berbicara.
“Ish kamu nih kebiasaan! Bersihin!” omel Pipo pada Papi.
“Kata pipo bayi itu seperti tumbuhan!” antusias Galih mulai menjelaskan pada Ghandi.
“Di twanawm?” jawab Ghandi yang tetap mengunyah makanannya.
“Hey habiskan dulu yang di mulut, baru berbicara!” Pipo memotong pembicaraan mereka untuk mengingatkan.
“Wait, Ghwandi mwenghwabiskan duwu!” ucap Ghandi seraya menyuap potongan sandwich terakhirnya dan mengunyah dengan terburu-buru.
“Letakkan dengan benar garpunya..” ucap Pipo yang terus mengawasi pergerakannya.
Galih menunggu dengan tangan tersila di atas meja, sedangkan Papi sibuk membersihkan cipratan kopinya.
“Fwinished!” ucap Ghandi tegas namun menggemaskan serta tersenyum riang pada Galih yang menatapnya dengan teduh.
Pipo bangkit dari duduknya menuju dapur.
“Iya, bayi itu seperti tanaman!”
“Belalti Ghandi juga bisa- membuat bayi?”
“Tidak!”
“Why?”
“Bisa membuatnya kalau sudah menikah, seperti Papi dan Pipo!”
“Why?”
“Because...” jeda Galih seperti mencari pertolongan untuk menjawabnya dengan melirik ke arah Papi.
Papi merasa canggung dan pusing ditinggalkan sendirian dengan kedua anaknya yang baginya membahas hal rumit. Kemudian memilih bangkit, berniat menghampiri Pipo. Namun, Pipo sudah kembali dengan dua gelas susu putih di tangannya.
“Mau kemana?” tanya Pipo yang melihat Papi berdiri.
“Mau ke kamar mandi.” jawab singkat Papi dengan langkah terburu-buru ke arah kanan di mana itu adalah ruang tamu.
“Hey! Toilet sebelah sana, kenapa malah ke ruang tamu?!” teriak Pipo melihat Papi yang melangkah ke ruang tamu, bukan kamar mandi.
“Oh iya aku lupa!” ucap Papi seraya menepuk jidatnya dan membalikkan arah langkahnya.
Hal konyol itu disaksikan suami serta anak-anaknya di ruang makan dengan ekspresi bingung.
Pipo hanya menggeleng sembari meletakkan segelas susu di sisi kanan anak-anaknya.
“Pipo, Ghandi ask me. Kenapa membuat bayi bolehnya setelah menikah? And Galih belum tau kenapa..” ucap sendu Galih yang menatap Pipo nya.
“Karena aturannya memang harus menikah dulu, sayang. Setelah menikah, baru boleh membuat bayi bersama..” jelas Pipo.
“Kenapa membuatnya halus belsama-sama?” tanya Ghandi lagi.
“Tidak bisa membuat bayi sendiri, harus ada satu orang yang memiliki benih dan menanamnya, dan satu orang memiliki tempat untuk menumbuhkan tanamannya.” jelas Pipo.
“Kalo sepelti tumbuhan, Ghandi juga bisa menanam tumbuhan!” seru Ghandi pada Pipo, namun kembali mengerutkan keningnya karena masih bingung.
“Itu kalau tumbuhan beneran, sayang. Kalau ini kan bayi, tumbuhnya dalam tubuh manusia.” ujar Pipo.
“Eoh? Bagaimana calanya ada bayi dalam tubuh Pipo?” tanya Ghandi.
“Karena Papi yang menanam benih dalam tubuh Pipo!” jawab antusias Galih yang sedikit menghentak meja karena ia merasa bangga jika mengetahui jawabannya, dan Ghandi kembali menghadap Galih.
“Bagaimana Papi menanamnya?” tanya Ghandi kembali dengan wajah polosnya.
Galih yang sudah antusias, kembali menyendu karena ia juga belum tau hal itu, dan keduanya kompak mengedarkan pandangannya pada Pipo.
“Hm?”
“Tell me, Pipo..” pinta kedua anaknya yang penasaran.
OH, TUHAN. JUJUR. PIPO JUGA SANGAT PUSING MENJELASKANNYA.
Pipo menghela nafas sejenak, lalu menatap kedua anaknya dengan senyuman manis.
“Sekarang Pipo tanya dulu, kalian umurnya berapa?”
“Delapan tahun!” jawab Galih.
“Lima!” jawab Ghandi dengan menunjukkan kelima jarinya.
“Nah, tunggu sampai beberapa tahun lagi, ya!” ucap Pipo.
“Too long, Pipooo~” keluh Galih dan Ghandi bersamaan.
“Sekarang belum saatnya, sayang.” ucap Seungkwan lembut seraya mengusak surai mereka.
“Sekarang kalian hanya boleh tau sebatas membuat bayinya itu setelah menikah, dan bayi ada karena Papi yang menanam benihnya pada tubuh Pipo, lalu akan membesar di sini!” jelas Pipo sembari mengusap perutnya.
“Cala mengelualkan bayinya?” tanya Ghandi lagi.
“Operasi.” jawab Pipo.
“Ope..lasi?” bingung Ghandi.
“Iya, operasi itu dibantu oleh dokter.” jelas Pipo.
“Doktel gigi?”
“Bukan, Ghandi!” sela Galih.
“Lalu?”
“Dokter yang menangani kandungan dan melahirkan.” jawab Pipo yang semakin pening memijat pelipisnya, kemudian berdiri mengambil peralatan makan mereka, dan membawanya ke dapur.
“Kandungan itu apa?”
“Hamil!” jawab Galih.
“Oh pelutnya sepelti balon?”
“Correctly!”
“Kalo melahilkan?”
“Hmm...” gumam Galih memikirkan jawabannya.
“Galih, Ghandi, cepat minum susunya!” teriak Papi yang hanya melewati ruang makan menuju garasi.
“Yes, Papi!” serentak keduanya mulai meneguk susunya.
“Langsung mandi, ya! Kita mau jalan-jalan.” perintah Papi yang menyembulkan kepalanya dari balik tembok ruang tamu.
Hanya dibalas anggukan oleh kedua anaknya yang masih meneguk susunya.
Pipo yang mendengarnya dari dapur hanya terus menghela nafas tenang karena kedua anak itu terus-terusan mempertanyakan soal bayi.
“Pipo, ini gelasnya.” ucap Galih dan Ghandi yang cukup mengagetkan Pipo karena kedua anaknya tiba-tiba sudah ada di belakangnya.
Mereka menyodorkan gelas kosongnya, lalu Pipo menerima gelas mereka dan kembali fokus mencuci. Namun, dua anaknya masih setia berdiri di belakangnya seperti menunggu sesuatu.
“Kenapa masih berdiri di situ? Papi menyuruh kalian mandi, kan?” tanya Pipo sembari mencuci gelas mereka.
“Want to ask again, Pipo..” ucap Galih.
“Melahilkan itu apa, Pipo?” tanya Ghandi.
“Melahirkan itu proses mengeluarkan bayi dari sini.” jelas Pipo seraya menunjuk perutnya.
“How?”
“Dengan dokter, Ghandi!” sela Galih yang mulai kesal adiknya bertanya terus-menerus.
“Oh, doktel kandungan dan melahilkan tadi?”
“Iya! Sudah kan? Ayo mandi nanti Papi marah!” tarik Galih.
“Telima kasih, Pipo.” ucap Ghandi sedikit berteriak karena sudah ditarik oleh Ghandi.
Pipo tersenyum seraya mengeringkan tangannya, dan melihat kedua anaknya sudah menghilang dari pandangannya.
Papi datang, menarik Pipo yang baru saja melepas apron, dan membawa Pipo dalam pelukannya.
“Suami aku terhebat!”
OH MUJI. Dalam hati, Pipo berseru.
“Iya, kamu pengecut!” omel Pipo.
“Aku gak pengecut, cuma gak berani aja. Takut aku gak sabar dan setenang itu jelasin ke mereka, nanti malah jadi ngomelin mereka.” jelas Papi.
“Sama aja pengecut!” sebal Pipo.
“Stt.. madep sini dong.” pinta Papi seraya menarik dagu Pipo dengan jemarinya.
Keduanya menipiskan jarak, Pipo melingkarkan tangannya pada leher Papi, dan Papi melingkarkan tangannya pada pinggang Pipo guna mengunci tubuh itu dalam dekapannya.
Kedua bibir saling bertemu, lembut memanggut penuh ketulusan tanpa didominasi rasa nafsu.
Panggutan mesra seperti ini sudah sering mereka lakukan saat ingin mengucapkan terima kasih untuk terus melengkapi satu sama lain, tanpa perlu mengucapkan.
Dua orang dewasa yang masih saling memanggut.
Tak sadar, kalau kedua anaknya ada di sudut sana dengan masing-masing handuk yang membalut tubuh mereka.
Awalnya mereka berniat menanyakan sabun mandi baru milik mereka yang Papi belikan kemarin, namun Galih sangat terkejut melihat panggutan keduanya dan langsung menutup pandangan adiknya dengan kedua telapak tangannya.
“Ghandi, don't see!” bisik Galih.
“Why?” jawab Ghandi yang ikut berbisik bingung dengan kedua tangan yang memegang balutan handuknya.
“Kita ke kamar mandi lagi.. merem!” perintah Galih yang masih berbisik sesekali celingukan melihat Papi dan Pipo masih asik memanggut, ia segera menarik adiknya kembali ke kamar mandi.
▪︎ Narration by Nami ▪︎ 28 Juli 2021